Panorama kelabu macam, korupsi, perebutan kekuasaan, bahkan perebutan wanita, saban waktu bukan semakin “memprihatinkan” namun telah “mengkhawatirkan” bahkan “mentraumakan” kita semua. Tindakan2 seperti itu ternyata menunjukkan grafik kian melonjak dan kualitasnya makin berbobot. Mengapa tindakan tersebut terjadi…? Siapa yang mesti disalahkan…? Adakah isyarat atau lonceng peringatan bahwa “tri pusat” pendidikan sedang “sakit”? atau mungkin ada sesuatu yang telah hilang dari bangsa ini..? lalu apa..?
Lepas dari siapa yang salah, siapa yang dikambinghitamkan, dan siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya degradasi moral generasi bangsa ini, penulis ingin mencoba menyoroti sebuah virus yang dirasa sedang meyebar menggrogoti bumi ini (yang jelas bukan H5N1 loh…), dan mencoba menawarkan anti virus yang sebenarnya sudah pernah berjaya namun sekarang dilupakan. Namun bukan berarti virus ini adalah “biang kerok” dari semua permasalahan bangsa ini, karna memang permasalahan bangsa ini sangat “kompleks” namun anti virus yang ditawarkan dirasa mampu untuk mengatasi semua permasalahan bangsa.
Virus.....???
Bangsa ini membutuhkan sebuah generasi yang mempunyai kualitas otak, otot dan watak yang handal, jempolan dan brilian. Jika tidak akan terjadi seperti yang diungkapkan dalam pepatah belanda “hoe groter gesst, hoe groter best”. Artinya, lebih tinggi tingkat pengetahuan seseorang, lebih tinggi pula tingkat kejahatannya. Atau sebagaimana dikatakan Betrand Russel (1993:79), “sepanjang sejarah, meningkatnya peradaban berkaitan dengan berkurangnya kesalehan”.
Dan bukan mustahil, sebagai efek kemajuan iptek, generasi bangsa ini akan tervirus “Scientifico syndromatica”. Wujud virus ini menurut ayip bakar, yaitu “dia modern tapi jahil, dia rasional tapi tidak manusiawi, dia punya intelegensi tinggi tapi budinya busuk”. Penyakit ini ialah berupa “keangkuhan ilmu”.
Siapapun orangnya tidak menginginkan virus “Scientifico syndromatica” melanda generasi bangsa ini. Karenanya, bagaimana menyiapkan generasi yang siap diri menghadapi gilasan iptek maupun terjangan badai globalisasi termaksud benteng religi. Perlu generasi beriman dan berilmu serta mampu mengamalkan ilmu tersebut, generasi yang mampu menyelaraskan menciptakan keseimbangan antara ilmu dan agama. Si jenius Enstein-pun telah menasehati kita lewat statmennya yang sangat terkenal, yaitu “science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh). Dan kita mendambakan lahirnya generasi yang mempunyai “religious attitude”. Kita membutuhkan generasi yang bersemboyangkan “tangan kanan memegang kitap suci Al-Qur’an, tangan kiri memegang ilmu, dengan keduanya kami melangkah menentukan jalan hidup dan mengembangkan ilmu”
Siapapun tidak menginginkan generasi kita menjadi generasi yang bermutu sembarang (medioker), atau menjadi “the silent generation” (generasi fakum dan berpangku tangan saja), apalagi generasi yang merasa alergi bila menyebut asma sang pencipta. Mentang-mentang otak pernah diasah dengan disiplin ilmu Berkeley, Harvard atau sarbone, lantas begitu mudah memandang rendah dan remeh mereka yang masih sering menyebut asma Allah.
Tragedi orang-orang yang merasa pandai (angkuh akan ilmu)
Siapapun tidak menginginkan lahirnya generasi biadab model Hittler, manusia robot franskensten, manusia ramalan Hobbes, atau generasi politikus yang menghalalkan segala cara model Machiavelli, apalagi tipologogi tiran bagai Fir’aun. Generasi macam ini akan muncul, bila kita tidak menempatkan manusia sebagai makhluk agamis.
Kita tidak akan pernah memimpikan lahirnya generasi yang mencampakan agama dari kehidupan, apa lagi generasi yang menganggap agama adalah candu masyarakat; manusialah yang menciptakan tuhan serupa dengan manusia!, seperti anggapan Lenin. Atau seperti yang ditulis karl marx dimana “agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, agama adalah jiwa dari keadaan yang tidak bersemangat, agama adalah candu bagi rakyat”. Naudzubillah min dzaliq!. Apalagi menganggap tuhan telah mati.
Cobalah kita menengok sejarah, bagai mana kesudahan dari mereka. Kebanyakan dari mereka berakhir dengan peristiwa yang tragis, tenggelem dilaut atau berakhir dengan bunuh diri, bahkan dihakimi oleh bangsanya sendiri.
Penulis jadi teringat sebuah kalimat yang ditulis oleh Ustad Salim A.Fillah dalam bukunya “Gue Never Die”, beliau menulis begini,”saat kita merasa pandai, saat itulah kita berhenti belajar dan saat itulah ilmu dicabut. Selesai sudah.”
“maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami. Kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata,”sesungguhnya aku diberi kenikmatan itu hanyalah sebab kepintaranku.” Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (Az Zumar 49)
“Scientifico syndromatica” ala Indonesia
Sekarang kita mencoba menelusuk kembali kearah sebuah Negara tempat kita menginjakkan kaki yaitu Indonesia. Mungkinkah“Scientifico syndromatica” telah menggrogoti bangsa ini….? Penulis tidak berani memberikan kesimpulan atas pertanyaan tersebut. Namun yang pasti, hampir sebagian besar tindak kejahatan yang dilakukan oleh putra-putri bangsa ini adalah dari kalangan orang2 yang “berdasi”, misalkan saja kasus korupsi yang terjadi pada bangsa ini, hampir sebagian besar dilakukan oleh orang2 berpendidikan dan dari kalangan atas. ini menandakan bahwa dia punya intelegensi tinggi tapi budinya busuk (cirri dari Scientifico syndromatica). Selain itu, sekarang kita sedang digemparkan oleh peristiwa yang cukup mengejutkan, yaitu bagai mana seorang pejabat yang mempunyai kedudukan terhormat demi seorang wanita rela melakukan pembunuhan, walaupun bukan dia yang mengeksekusi tapi dia adalah otak pelaku pembunuhan, apalagi ditengah perebutan kekuasaan (Pilpres) yang sebentar lagi akan dilaksanakan, semua upayapun dilakukan termaksud saling mengklaim keberhasilan, menghujat dan menuduh, akibatnya kesejahteraan rakyatpun terabaikan. dan ini menandakan bahwa lebih tinggi tingkat pengetahuan seseorang, lebih tinggi pula tingkat kejahatannya (cirri dari Scientifico syndromatica).
Anti Virus...!!!
Pinjam pendapat Prof Dr. H. Halide, pemuda (generasi) sekarang harus bercirikan :”khalifatul ard yang mampu menciptakan rahmatan lil alamin memiliki akhlakul qarimah, uswatun hasanah dan khaerah ummatin ukhrijat linnas, the best karena senang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan tu’minuna billah”.
Bangsa Indonesia ini seperti kehilangan jati diri, karena semakin redupnya cahaya islam di hati muslim Indonesia. Bagi penulis cara paling tepat untuk mengubah kaadaan ini adalah dengan Back to basic. Kita kembali kepada Islam sebagai pedoman hidup, kita tebarkan kembali cahaya Islam di hati muslim Indonesia. Karna Islam is Solution.
Islam memimpin dan menebar cahaya di dunia selama 12 abad. Kapitalisme dengan kolonialismenya 2 abad, menyengsarakan dunia sampe sekarang dan komunisme selama 0,7 abad tak pernah kemana-mana. Tak ada yang mampu menjawab permasalahan dunia dari pada yang pertama.
Betapa islam sejak awal, menempatkan akal dalam posisinya yang paling nyaman. Ia tidak dikungkung oleh belenggu otoritas. Tetapi ia berjalan dalam ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Ia berkelana menjelajah penjuru bumi, mamasuki tubuh manusia, mengintip aktivitas sel-sel, lalu mengangkasa, mengamati cuaca, terus keantariksa memuaskan rasa ingin tahu, berbagi untuk memudahkan kehidupan insan.
Islam memulai derak yang mendenyutkan kehidupan itu dari motivasi agung peribadatan, ketaatan. Saat perhitungan waris dan perhitungan zakat begitu rumit dengan angka romawi, lahirlah angka nol dan aljabar. Saat sang nabi mencontohkan wewangian, dahsyatlah riset-riset tentang Alkemi. Saat kebersihan bagian dari imn, lahirlah sabun. Saat dunia islam makin luas, lahirlah pemetaan astronomis, astrolob, dan ilmu navigasi. Saat kesehatan disebut berharga oleh Nabi, mumcullah dokter-dokter yang mumpuni.
Bagi yang mau sadar, kita sudah diberi modal loh. Mari mensyukuri nikmat akal, karna virus “Scientifico syndromatica” berawal dari kurangnya rasa syukur kita atas akal yang telah di amanahkan kepada kita. Mari pergunakan sebaik-baiknya. Seperti mereka, para pendahulu kita yang shalih (baik) dan mushlih (memberi perbaikan). Kalau bukan kita, siapa lagi….?
seuntai saran dan harapan...
menarik untuk disimak sebuah terminology berbunyi begini: “Negara yang baik,sejahtera,aman merupakan bias dari masyarakat yang baik sejahtera,aman. Masyarakat yang baik sejahtera dan aman merupakan bias dari keluarga yang baik sejahtera dan aman pula”. Konsekwensinya, keluarga harus melakukan peran sebagai “kawah candradimuka”. Tapi pada kesempatan ini, penulis mencoba meng”intrupsi” tri pusat pendidikan, yang dirasa turut andil dalam perbaikan maupun kehancuran bangsa ini.
paguyuban keluarga
institusi keluarga, bukan hanya unit tempat tinggal dan sebatas tempat berteduh, mestinya (memang demikian idealnya!) keluarga merupakan penabur benih-benih moralitas, mentalitas, etika, tata susila serta yang paling utama adalah butir-butir mutiara religi. keluarga merupakan pilar utama pelahir generasi handal, briliant, yang mempunyai kualitas iman, ilmu dan mampu mengejawantakannya.
ditengah kian menipisnya rasa cinta dan kasih sayang, dan ditengah kian "super" sibuknya keluarga, institusi keluarga perlu "diinterupsi". keluarga diharapkan mampu memainkan peranan secara maksimal, sebab keluarga adalah benteng penangkal, penabur budaya, serta butir2 mutiara religi. sehingga, keluarga tetap dipercaya sebagai penjaga setia paguyuban moralitas
peran lembaga pendidikan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus dapat menaburkan benih-benih keimanan dan ketakwaan kepada generasi bangsa ini melalui mata pelajaran-mata pelajaran yang ditawarkan disekolah termaksud melalui mata pelajaran umum. Disamping itu bagai mana menyelaraskan antara konsep ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, dan menanamkan kesadaran dan keyakinan kepada siswanya, bahwa Allah S.W.T telah menetapkan prinsip-prinsip keteraturan alam semesta (sunatullah/hokum alam).
optimalisasi peran masyarakat
negeri yang pernah dijuluki sebagai "zamrud khatulistiwa" ini, kini dihinggapi “sizofrenia cultural” yang berwujud : masyarakat yang berwujud garang, berwatak keras, dan berprilaku liar secara brutal. Bahkan ada yang menuduh, kita sedang menuju masyarakat “kanibal”, masyarkat yang bermental “homo homonis lupus” (manusia adalah serigala bagi yang lain) dan lebih parahnya lagi sifat2 ini justru “dipertontonkan” oleh para elit politik (Pemerintah) untuk merebut kekuasaan.
Melihat kondisi tersebut yang dirasa cukup “parah”, penulis merasa perlu dicarikan alternative sebagai solusi. Pertama, pemberdayaan kembali dan optimalisasi peranan lembaga-lembaga social masyarakat. Kedua, maksimalisasi peran elit informal terutama elit agama, elit adat dan elit politik.
mengakhiri artikel ini, perlu menjadi catatan peringatan bagi siapa saja, bahwa “scientifico sindromatica”, merupakan sebuah ancaman yang amat nyata bagi generasi bangsa ini. Karenanya, ayo, Kita kembali kepada Islam sebagai pedoman hidup, kita tebarkan kembali cahaya Islam di hati muslim Indonesia, kita taburkan pernak-pernik religi sejak dini terhadap generasi bangsa ini. Karna Islam is Solution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar